BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkatn aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.
Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan riil di lapangan, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang meningkatkan kreativitas siswa, terutama dalam pembelajaran biologi. Masih banyak tenaga pendidik yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh guru.
Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif.
Upaya peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal.
Proses pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa. Jadi, kegiatan belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup.
Peningkatakn mutu pendidikan di Indonesia tidak cukup dengan pembenahan dibidang kurikulum saja, tetapi harus diikuti dengan peningkatan mutu guru dijenajng tingkat dasar dan menengah. Untuk itu dalam menghadapi era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan ketidak pastian, dibutuhkan guru yang visioner dan mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif dan inovatif. Diperlukan perubahan strategi dan model pembelajarna yang sedemikian rupa yang dapat memberikan manusia yang menyenangkan bagi guru dan peserta didik.
Dimasa lalu, dan mungkin sekarang suasana lingkungan belajar seirng dipersipakan sebgai suatu lingkungan yang menyiksa, membosankan, kurang merangsang dan berlangsung secara monoton sehingga anak-anak belajar secara terpaksa dan kurang bergairah. Di lain pihak para guru juga berada dalam suasana lingkungan yang kurang menyenangkan dan sering kali terjebak dalam rutinitas sehari-hari, oleh karena itu diperlukan perubahan paradigman (pola pikir) guru, dari pola pikir tradisional menuju pola pikir professional. Apalagi lahirnya undang-undang guru dan dosen menuntut sosok guru dan berkualifikasi, berkompetensi dan bersertifikasi.
Menurut Surya (2005) guru professional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode.
Pembelajaran kooperatif terutama teknik Jigsaw dianggap cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia karena sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun karya ilmiah dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Jigsaw dalam Pembelajaran Biologi”.
Berdasarkan latar belakang diatas, hal-hal yang akan dibahas pada karya ilmiah ini adalah:
1. Mengapa Pembelajaran Kooperatif Tipe jigsaw perlu dilaksanakan dalam mata pelajaran biologi?
2. Bagaimana pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif Tipe jigsaw dalam mata pelajaran biologi?
3. Apa kelebihan dan kelemahan Pembelajaran Kooperatif Tipe jigsaw dalam mata pelajaran biologi?
Dari permasalahan-permasalahan diatas, maka tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah:
1. Untuk menjelaskan pentingnya Pembelajaran Kooperatif Tipe jigsaw dalam mata pelajaran biologi.
2. Untuk menjelaskan mengenai pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif Tipe jigsaw dalam mata pelajaran biologi.
3. Untuk menjelaskan kelebihan dan kekurangan Pembelajaran Kooperatif Tipe jigsaw dalam mata pelajaran biologi.
Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi siswa
Karya ilmiah ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, meningkatkan keaktifan siswa, mengembangkan jiwa kerja sama saling menguntungkan, menghargai satu sama lain, membangun kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah-masalah biologi serta sebagai metode yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
b. Bagi penulis
Karya ilmiah ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman.
c. Bagi guru
Karya ilmiah ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan pembelajaran dikelas
B. Pembahasan
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang diajarkannya dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.
Model pembelajaran Kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Kooperatif dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.
Falsafah yang mendasari pembelajaran Cooperative Learning (pembelajaran gotong royong) dalam pendidikan adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Kooperatif Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran Kooperatif Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Kooperatif, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong yaitu :
1. Saling ketergantungan positif.
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan mereka.
Dengan saling membutuhkan antar sesama, maka mereka saling ketergantungan satu sama lain, saling ketergantungan tersebut dapat dicapai melalui ; (1) saling ketergantungan pencapaian tujuan; (2) saling ketergantungan dalam menyelesaikan pekerjaan (3) ketergantungan bahan atau sumber untuk menyelesaikan pekerjaan; (4) saling ketergantungan peran.
2. Tanggung jawab perseorangan.
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif dalam model pembelajaran Cooperative Learning membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
3. Tatap muka.
Dalam pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4. Komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun, proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.
5. Evaluasi proses kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraikan oleh Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada table berikut ini
Tabel Sintaks Pembelajaran Kooperatif
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:
1. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.
C. Perbedaan Pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran tradisional
Dalam pembelajaran tradisional juga dikenal belajar kelompok. Meskipun demikian, ada sejumlah perbedaan prinsipil antara kelompok belajar koopcratif dengan kelompok belajar tradi¬sional. Abdurrahman dan Bintaro, (2000) dalam Nurhadi (2003), mengemukakan beberapa perbedaan antara kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar tradisional sebagai berikut.
Perbedaan pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran tradisional
Kelompok Belajar Kooperalif Kelompok Belajar Tradisional
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi
promotif Guru sering membiarkan adanya siswa yang mend ominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok dan kelompok diberi umpan batik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat
memberikan bantuan Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oieh salah seorang anggota kelompok, sedangkan anggota kelompok lainnya jenak-enak saja" di atas keberhasilan temannya yang dianggap "pemborong".
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan Kelompok belajar biasanya homogen
Ketua kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok Ketua kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih ketuanya dengan cara masing¬ masing
Keterampilan sosial yang diperiukan dalam kerja gotong royong seperti kepemimpinan kemampuan berkomunikasi, mempercayat orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung, guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antaranggota kelompok Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung
Guru memerhatikan secara langsung proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar Guru sering tidak memerhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok¬ kelompok belajar
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas, tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antarpribadi yang saling menghargai) Penekanan sering hanya pada penyele¬ saian tugas
D. Pentingnya Pembelajaran Kooperatif
Hasil penelitian melalui metode meta-analisis yang dila¬kukan oleh Johnson dan Johnson (1984) dalam Nurhadi (2003) menunjukkan adanya berbagai keunggulan pcmbelajaran koo= peratif, yakni:
1. Memudahkan siswa melakukan penyesuaian'sosial;
2. Mengembangkan kegcmbiraan bclajar yang sejati;
3. Memungkinkan para siswa saling bclajar mcngcnai sikap keterampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandangan;
4. Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai-nilai sosial dan komitmen;
5. Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial;
6. Menghilangkan sifat memer.tingkan diri sendiri atau egois dan egosentris;
7. Menghilangkan siswa dari penderitaan akibat kesendirian atau keterasingan;
8. Dapat menjadi acuan bagi perkembanbdn kepribadian yang sehat dan terintegrasi;
9. Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa;
10. Mencegah timbulnya gangguan kejiwaan;
11. Mencegah teriadinya kenakalan di masa remaja;
12. Menimbulkan perilaku rasional di masa remaja;
13. Berbagai keterampilan sosial yang diperlukan untuk meme¬lihara hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktikkan;
14. Meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia;
15. Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai perspektif;
16. Meningkatkan perasaan penuh makna mengenai arah dan tujuan hidup;
17. Meningkatkan keyakinan terhadap ide atau gagasan sendiri;
18. Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang dirasakan lebih baik;
19. Meningkatkan motivasi belajar;
20. Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang per¬bedaan kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat, etnis, kelas sosial, agama dan orientasi tugas;
21. Mengembangkan kesadaran bertanggung jawab dan saling menjaga perasaan;
22. Meningkatkan sikap positif terhadap belajar dan pengalaman belajar;
23. Meningkatkan keterampilan hidup bergotong-royong;
24. Meningkatkan kesehatan psikologis;
25. Meningkatkan sikap tenggang rasa;
26. Meningkatkan kemampuan berpikir kreatif;
27. Memungkinkan siswa mampu mengubah pandangan klise dan stereotif menjadi pandangan yang dinamis dan realistis;
28. Meningkatkaan rasa harga diri (self esteem) dan penerimaan diri (self acceptance);
29. Memberikan harapan yang lebih besar bagi terbentuknya manusia dewasa yang mampu menjalin hubungan positif dengan sesamanya, baik di tempat kerja maupun di masya¬rakat;
30. Meningkatkan hubungan positif antara siswa dengan guru dan personel sekolah;
31. Meningkatkan pandangan siswa terhadap guru yang bukan hanya sebagai penunjang keberhasilan akademik, tetapi juga perkembangan kepribadian yang sehat dan terintegrasi;
32. Meningkatkan pandangan siswa terhadap guru yang bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik.
Menciptakan suasana belajar kooperatif bukan suatu peker¬jaan mudah, tetapi diperlukan pemahaman filosofis dan keilmuan
E. Peran Guru dalam pembelajaran kooperatif
Peranan guru dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut.
a. Merumuskan tujuan pembelajaran. Ada dua tujuan pem¬belajaran, yakni tujuan akademik (academic objectives) dan tujuan keterampilan bekerja sama (collaborative skill objec¬tives). Tujuan akademik dirumuskan sesuai dengan taraf perkembangan siswa dan analisis tugas atau analisis konsep. Tujuan keterampilan bekerja sama meliputi keterampilan memimpin, berkomunikasi, memercayai orang lain, mena hargai, dan manajemen konflik.
b. Menentukan jumlah anggota dalam kelompok belajar.
c. Menentukan tempat duduk siswa.
d. Merancang bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan positif. Ada tiga macam cara untuk meningkatkan saling ketergantungan positif, yaitu (a) saling ketergantungan bahan (tiap kelompok hanya diberi satu bahan ajar dan kelompok harus bekerja sama untuk rnempelajarinya); (b) saling ketergantungan informasi; (c) saling ketergantungan menghadapi kelornpok lain (bahan ajar disusun dalam suatu bentuk pertandingan antarkelornpok yang memiliki kekuatan seimbang sebagai dasar untuk menentukan saline, ketergantungan positif antaranggota kelompok). Keseim¬bangan kekuatan antarkelompok penting dalam rangka meningkatkan motivasi belajar.
e. Menentukan peran siswa untuk menunjang saling ketergan¬tungan positif. Saline ketergantungan puisii dapat diciptakan melalui pembagian tugas kepada tiap anggota kelompok dan mereka bekerja untuk saling melengkapi. Misalnya, seorang anggota kelompok diberi tugas sebagai peneliti, yang lainnya sebagai penyimpul, yang lainnya lagi sebagai penulis, yang lainnya lagi sebagai pemberi semangat, dan ada pula yang menjadi pengawas terjalinnya kerja sama.
f. Menjelaskan tugas akademik.
g. Menjelaskan kepada siswa mengenai tujuan dan keharusan bekerja sama.
h. Menyusun akuntabilitas individual.
i. Menyusun kerja sama antar kelompok.
j. Menjelaskan kriteria keberhasilan.
k. Menjelaskan perilaku siswa yang diharapkan.
l. Memantau perilaku siswa.
m. Memberikan bantuan kepada siswa dalam menyelesaikan tugas.
n. Melakukan intervensi untuk mengajarkan keterampilan bekerja sama.
o. Menutup pelajaran.
p. Menilai kualitas pekerjaan atau hasil belajar siswa.
q. Menilai kualitas kerja sarna antaranggota keiompok.
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (Arends, 2001). Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode Cooperative Learning. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).
Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Lie, A., 1994).
Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 1997) :
Kelompok Asal
Kelompok Ahli
Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw
Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :
• Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.
Gambar Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw
• Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.
• Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.
• Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.
• Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.
• Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Ada beberapa mamfaat yang diperoleh dari tekhnik jigsaw atanra lain :
- Meningkatkan rasa tanggung jawab siswa baik terhadap teman maupun terhadap pekerjaan dan prestasi
- Guru bukan satu-satunya penyedia pengetahuan
- Cara yang efisien untuk belajar bagi siswa
- Meningkatkan rasa solidaritas antar siswa
- Dapat membangun keterampilan interpersonal dan interaksif, siswa
Ada beberapa keuntungan dari penerapan tekhnik jigsaw antara lain
- Guru mudah dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar
- Dapat digunakan bersama dengan strategi pembelajarna yang lain
- Sangat efektif dan murah dalam pelaksanaanya
- Meningkatkan rasa percaya diri siswa
- Mengurangi setiap kompetisi dan meningkatkan kerjasama siswa
Selain keuntungan ada juga beberapa kerugian dalam pelaksanaan teknik jigsaw antra lain :
- Adanya siswa yang bersifat dominan
Oelh karena masing-masing kelompok jigsaw harus memiliki pemimpin yang bertanggung jawab dan bersikap adil sehingga partisipasi dapat terjalin merata diantara siswa.
- Adanya siswa yang lambat
Oleh karananya dalam kelompok ahli mereka diberi kesempatan untuk mendiskusikan hasil laporan mereka dan mengumpulkan saran dari kelompok lain untuk meningkatkan mutu laporan sesuai dengan yang dibutuhkan
- Siswa yang pintar mudah bosan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran Cooperative Learning diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran Cooperative Learning.
2. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
3. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
5. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran Cooperative Learning dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran Cooperative Learning di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
2. Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen.
3. Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran Cooperative Learning.
4. Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
5. Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran di sekolah yang melibatkan siswa dengan guru akan melahirkan nilai yang akan terbawa dan tercermin terus dalam kehidupan di masyarakat. Pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam kelompok secara bergotong royong (kooperatif) akan menimbulkan suasana belajar partisipatif dan menjadi lebih hidup. Teknik pembelajaran Kooperatif dapat mendorong timbulnya gagasan yang lebih bermutu dan dapat meningkatkan kreativitas siswa.
Jigsaw merupakan bagian dari teknik-teknik pembelajaran Kooperatif. Jika pelaksanaan prosedur pembelajaran Kooperatif ini benar, akan memungkinkan untuk dapat mengaktifkan siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Sampai saat ini pembelajaran Kooperatif terutama teknik Jigsaw belum banyak diterapkan dalam pendidikan walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat.
B. Saran
Sudah saatnya para pengajar mengevaluasi cara mengajarnya dan menyadari dampaknya terhadap anak didik. Untuk menghasilkan manusia yang bisa berdamai dan bekerja sama dengan sesamanya dalam pembelajaran di sekolah, model pembelajaran Kooperatif perlu lebih sering digunakan karena suasana positif yang timbul akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencintai pelajaran dan sekolah / guru. Selain itu, siswa akan merasa lebih terdorong untuk belajar dan berpikir.
DAFTAR PUSTAKA
Anita Lie. 2007. Cooperative Learning. Jakarta : Grasindo.
Kunandar. 2007. Guru Profesional, Jakarta : Rajawali Press.
Muhibbin Syah. 1995. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosda.
Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 1995. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Syaiful Sagala. 2006. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
http://cooperative learningteknik jigsaw.com
http://en.wikipedia.org/wiki/jigsw-(teaching-technique)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar